Takbir Anak Lumpur



Karya : Nufiansyah

Alif...ba...ta..sa...jim...,terdengar suara anak-anak Desa Renokenongo yang sedang mengaji di musholla tempat mengajarnya Nazwa. Suara itu sangat lantang dan jelas di ucapkan anak-anak yang rata-rata berusia 4 sampai 10 tahun.
            Nazwa adalah seorang  guru ngaji perempuan yang mengajarkan ilmu agama kepada anak muridnya yang normal maupun keterbatasan fisik. Ia mempunyai seorang anak murid yang keterbatasan fisik yaitu Rafif. Di keseharian rafif adalah seorang anak yang pintar, namun ia hanya mempunyai satu kaki. Menjadi seorang anak yang mempunyai keterbatasan fisik, Rafif selalu ingin hidup seperti layaknya anak-anak normal. Ia sering bermain bola, main kelereng dan permainan lainnya yang sering di mainkan anak seusianya, meskipun tidak selincah dan seaktif temannya. Rafif mempunyai hobi yang sangat mulia di bandingkan teman-temannya. Apabila teman-temanya  mempunyai hobi bersepeda dan bermain, beda dengan Rafif yang sangat suka membaca Al-Qur’an. Rafif memang di lahirkan dari keluarga yang bisa disebut kurang mampu. Ayahnya adalah seorang pedagang asongan kecil dan ibunya seorang kuli nyuci dikampungnya. Namun dengan kondisi keluarga Rafif ini, ia selalu bersyukur setiap hari.


          Seperti biasa setiap sore hari, Rafif dan teman- temannya mengaji di musholla. Terlihat dari muka anak-anak yang berseri-seri dan penuh semangat mengikuti pengajaran Nazwa. Hari itu setelah selesai mengaji, Rafif langsung menghampiri Nazwa dan menanyakan sesuatu yang membuatnya bingung.
            “Bu ustazah, tadi saya melihat orang bekerumun di dekat rumah si Toriq, itu lagi ngapain ya, bu?” tanya Rafif. “Ohh.. itu orang lagi melakukan pengeboran sumur Fif,” jawab Nazwa.
 “Ohh..gitu ya bu,” jawab Rafif yang sudah ngerti.
 “kalo begitu Rafif pulang dulu bu, assalamualaikum”.
 “Iya Fif, waalaikumsalam”. Rafif langsung mengambil tongkat dan pulang sambil bersholawat.
            Di perjalanan, ia dipanggil oleh teman-temannya untuk bermain, namun ia menolak ajakan temannya, karena ia ingin membantu ibunya mencuci pakaian di salah satu rumah warga. Sungguh mulia seorang anak yang membantu orang tuanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Beberapa hari kemudian, tepatnya tanggal 29 Mei 2006 terdengar berita yang sangat mengejutkan warga desa Renokenongo yaitu sumur yang di bor perusahaan PT.Lapindo Brantas mengeluarkan lumpur yang berbahaya dan tidah bisa di hentikan. Berita ini mulai menyebar ke desa lain, dan semua warga sangat berwaspada. Untuk mencegah terjadi hal yang tidak di inginkan, pihak pemerintah langsung mengungsikan warga yang berada di daerah sumur pengeboran agar mereka tidal terhirup gas yang di keluarkan lumpur tersebut. Sekitar 1.200 warga di ungsikan pada saat itu. Kala itu, Rafif dan teman-temannya sedang mengaji di musholla sehingga tidak memgetahui berita tersebut. Hari semakin sore, sumur itu pun semakin banyak mengeluarkan lumpur yang beracun. Tiba waktunya Rafif pulang dari tempat ngajinya, namun disaat mau pulang kerumah, kedua orang tuanya sudah menunggu diluar musholla.
Rafif bingung, “tidak biasanya kedua orang tuaku menunggu seperti ini,” ucapnya dalam hati.
“Ada apa bu, tidak biasanya ibu dan bapak menjemputku,” ucap Rafif yang mengetahui orang tuanya sedang sibuk sibuk skitar  jam segini.
“Nak, rumah kita sudah tergenang lumpur dan barang-barang sudah di angkut ke pengungsian,” sang ibu mengatakan dengan suara sedih.
 “Astagfirullahalazim..yang benar bu?, jadi semua barang sudah di angkut?”, Rafif yang setengah tidak percaya.
 “Iya nak, ibu kesini ingin menjemput dan membawa kamu ke tempat paman,” jelas ibunya.
 Ia ambil tongkat yang membantunya berjalan, lalu ia langsung bergegas menuju rumahnya yang tergenang lumpur.

“kamu mau kemana nak?”, sang ibu bertanya.
“Mau melihat rumah Rafif untuk yang terakhir kalinya bu,” ucap Rafif sedih.
 “Yasudah, ayo ibu dan bapak temani,” kata sang ayah sambil menggandeng Rafif.
Mereka bertiga pun dengan hati yang sedih mendatangi rumah satu-satunya tempat tinggal Rafif sekeluarga.
Sesampainya di sana, Rafif hanya memandangi rumahnya yang tergenang lumpur dari kejauhan, karena lumpur sudah hampir mencapai 10 cm ketinggiannya. Sebuah pikiran terlintas di kepala Rafif, ia teringat dengan Al-Qur’an kesayangan yang ia letakkan di kamar tidurnya pada saat ia pergi ngaji tadi siang. Lalu ia bergegas bertanya kepada sang ibu.
 “bu, Al-Qur’an kesayangan Rafif sudah di bawa ke tempat paman kan?”.
“dimana kamu meletakkannya nak?”, tanya sang ibu,
 “di kamar Rafif bu,” jelas Rafif.
 “ibu tidak menemukan Al-Qur’an di sana, namun ibu hanya menemukan penunjuk Al-Qur’an ini,” seraya sambil mengeluarkan dari kantong bajunya.
 “mungkin ibu tidak melihat karena bergegas mengeluarkan barang lainnnya juga,” jelas sang ibu menyesali.
 Rafif tak berkutik dan hanya bisa menangis denga kenyataan yang di berikan ibunya. Ia menatap rumah yang membesarkan dirinya, dan menjadi tempat berlindung serta melepas rasa kerinduan kepada keluarganya dulu. Kini rumah yang ia sayangi telah dimakan oleh lumpur yang tak bertanggng jawab. Tidak hanya itu, Al-Qur’an yang ia sayangi pun juga ikut di makan oleh lumpur yang sangat kejam itu.
Hari demi hari Rafif lewati di tempat pamannya tanpa al-qur’an kesayangannya. Hal ini membuat Rafif menjadi tidak bersemangat seperti dulu, karena ia mendapatkan al-qur’an itu dengan jerih payahnya sendiri yaitu, dengan membantu ibunya menyuci pakaian  dan membantu bapaknya berjualan, sehingga uang yang ia dapat dari membantu orang tuanya, ia kumpulkan dan di belikannya satu buah al-qur’an. Niatnya untuk membeli al-qu’an lagi tidak kesampaian, karena kondisi keluarga dan desanya yang sudah berbeda dari sebelumnya. Bapaknya sudah jarang berjualan karena lokasi tempat berjualan sudah di genangi lumpur dan ibunya juga jarang mencuci pakaian warga lagi. Hal ini yang selalu ia pikirkan setiap hari, karena tidak mungkin ia membeli al-qur’an sedangkan orang tuanya sudah jarang bekerja. Namun di balik itu semua ia masih bisa membaca al-qu’an di tempat ngajinya.
Nazwa sebagai guru ngaji Rafif selalu memotivasi dan memberikan semangat kepada Rafif dan anak murid lainnya agar tidak patah semangat dengan musibah yang di alami mereka saat ini. Nazwa berpesan kepada anak muridnya agar selalu bersyukur dan bersabar dengan apa yang telah terjadi. Rafif pun mengamalkan perkataan sang ustazah tersebut. Setiap pulang dari tempat ia ngaji, Rafif menyempatkan diri untuk melihat rumahnya yang tergenang lumpur yang semakin hari semakin tidak terlihat. Meskipun melihat rumahnya dari kejauhan, Rafif masih senang karena bisa mengingatkannya pada kenangan-kenangan indah yang di lakukannya di rumah itu.
Sampai pada suatu sore ia berjalan untuk melepas penat sehabis mengaji di tempat ustazah Nazwa. Rafif duduk di pinggiran tebing yang di depannya lumpur yang ketinggiannya hampir setengah meter. Saat sedang asyik duduk, sekilas ia melihat ranting pohon yang hampir patah, ia berpikir ini akan mencelakai orang yang lewat nanti, tanpa berpikir panjang lagi Ia patah ranting yang belantungan itu dan di letakkan di samping pohon itu. Lalu ia melanjutkan duduk di tebing itu sambil mengingat al-qur’an kesayangannya yang tenggelam termakan lumpur. Rafif tak kuat membendung air matanya dan sampai akhirnya ia berteriak mengucap takbir “Allahuakbar...Allahuakbar...Allahuakbar” dengan suara agak serak akibat menangisi al-qur’an tersebut. Selang beberapa menit setelah berteriak, tiba-tiba di sebelah kanan ia duduk terlihat sebuah benda yang tampak muncul di permukaan lumpur dan perlahan hanyut melewati dirinya. Awalnya Rafif ragu untuk mengambil benda itu karena ia sadar bahwa kakinya yang cacat mungkin akan berbahaya bagi dirinya karena bisa saja terpelest dan lebih bahayanya ia jatuh ke lumpur itu. Namun ia sangat penasaran dengan benda itu, dia memaksakan diri untuk mengambil benda itu. Tanpa berpikir banyak, bergegas ia mengambil ranting pohon yang ia patah tadi. Lalu ia kais dengan sekuat tenaganya, perlahan benda itu menghampiri dirinya. Sekitar beberapa centi dari dirinya, ia pun dapat mengambil benda yang penuh lumpur itu. Bergegas ia pulang untuk membersihkannya. Sampai di pengungsian, di bersihkanlah dengan air benda itu, alangkah terkejutnya ia meliahat tulisan arab di benda tersebut, bergegas ia angkat lalu bukanya perlahan, dan alangkah terkejurnya lagi ia saat membuka benda itu, ternyata itu adalah al-qur’an yang ia miliki dan yang paling ia sayang. Lalu ia bereriak kegirangan dan bertakbir “Allahuakbar...Allahuakbar...Allahuakbar”. Sekeliling orang di sekitar Rafif bingung dan merinding dengan teriakan si anak ini.
Lalu Nazwa bertanya yang kebetulan sedang berada di sana “mengapa kamu begitu senang Rafif sampai berteriak-teriak dan mengucap takbir?”, lalu Rafif menjawab ” Rafif sangat senang dan bersyukur bu ustazah, karena al-qur’an kesayangan Rafif sudah kembali”. “Alhamdulillah.. , itu lah balasan dari kamu yang berusaha dan percaya bahwa Allah itu maha adil,” ucap Nazwa. “iya bu,” Rafif menjawab sambil tersenyum. Hari demi hari Rafif lalui sebagai anak lumpur yang selalu bersyukur akan cobaan yang di berikan yang maha kuasa, agar ia dan warga lainnya bisa semangat dan tabah akan cobaan ini.





0 komentar:

Posting Komentar